Jumat, 16 Juni 2017

Mudik, Tradisi Budaya atau Ibadah Syariat?



Idul Fitri sebentar lagi. Banyak umat Islam di tanah air  yang biasa merayakannya dengan pulang kampung, bertemu keluarga, orang tua dan saudara  dengan perasaan senang bercampur haru. Sungguh sebuah kegembiraan yang tak tergantikan dengan apapun. Ada yang rela menghabiskan uang untuk membeli tiket yang harganya naik berlipat-lipat. Ada yang menghabiskan waktu perjalanan di  bis, kereta, kapal semalaman bahkan kadang ada yang berhari-hari untuk sampai di tempat tujuan. Tak terbayangkan bukan, betapa melelahkannya berbagai aktivitas mudik ini dan berapa rupiah uang yang dihabiskan untuk budaya ini, bahkan ada yang sampai berhutang sekedar untuk biaya mudik dan berlebaran di kampung halaman.
Mudik, bertemu dengan kerabat, menjalin hubungan baik dengan mereka  adalah bagian dari silaturahim yang diperintahkan Allah dan RasulNya. Abu Ayyub al Anshari ra menuturkan “Seorang laki-laki berkata kepada Rasulullah saw “Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepadaku perbuatan yang dapat memasukkanku ke dalam surga’. Orang-orang berkata, “Ada apa dengannya, ada apa dengannya?” Rasulullah saw bersabda “Bukankah Tuhan bersamanya?” kemudian beliau melanjutkan “Engkau menyembah kepada Allah dan tidak menyekutukanNya dengan sesuatupun, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan menjalin silaturahim(HR Bukhari).
Islam sangat mencela orang yang memutuskan hubungan silaturahim. Rasulullah SAW pernah  bersabda “Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan hubungan silaturahim” (HR Muslim melalui sanad Jubair bin Muth’im).
Upaya  menghubungkan tali silaturahim adalah amalan yang sangat mulia. Anas bin Malik menuturkan bahwa Rasulullah saw bersabda “Siapa saja yang ingin dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan usianya, hendaklah ia menghubungkan tali silaturahimnya“.  Menghubungkan tali silaturahim yang dimaksud di hadist ini adalah dengan kerabat yang sudah putus silaturahim. Ini dipahami dari sabda  Rasulullah SAW  “Bukanlah orang yang menghubungkan tali silaturahim itu adalah yang membalas hubungan baik. Akan tetapi, orang yang menghubungkan tali silaturahim itu adalah orang yang ketika diputuskan silaturahimnya, dia menyambungkan kembali hubungan itu” (HR Bukhari, dari jalur sanad Abdullah bin ‘Amr).
Jelas sudah bahwa kita diperintahkan untuk menjalin silaturahim kepada kerabat. Pemahaman masyarakat saat ini tentang makna silaturahim sebagai menjalin hubungan baik dengan teman, tetangga, rekan kerja, atau bahkan kepada orang non muslim (yang tidak ada hubungan kerabat) adalah menyimpang dari anjuran  Islam. Menjalin hubungan baik dengan sesama muslim memang diperintahkan dalam Islam tetapi bukan dalam rangka menjalin silaturahim tetapi  menjalin persaudaraan sesama muslim (shilah ukhuwah).
Silaturahim seharusnya dilakukan kepada seluruh kerabat. Islam telah menjadikan kerabat ada dua macam  : Pertama, Kerabat yang mewarisi seseorang jika orang tersebut meninggal. Yang termasuk di sini adalah orang yang berhak mendapatkan warisan (ashhabul furudh) dan para ‘ashabah. Ke dua, Kerabat yang hanya memiliki hubungan silaturahim (dzawil arham) dan tidak  mendapatkan warisan. Allah SWT memerintahkan untuk menjalin hubungan silaturahim dan berbuat kebaikan kepada mereka semua..

Dengan demikian, maka budaya mudik untuk bertemu  kerabat, kemudian saling memberi hadiah atau oleh-oleh dll adalah suatu aktivitas kebaikan yang bernilai ibadah karena termasuk dalam cakupan menjalin silaturahim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Lebaran Mengembalikan Ke-Jahiliyah-an

Hari raya adalah saat yang ditunggu untuk bertemu dengan kerabat sehingga sebaiknya digunakan untuk acara keluarga. Inilah...